Oleh: Syaeful Rochman Subandi
Mahasiswa Indonesia di Kuala Lumpur
Untuk membuka tulisan ini disarikan fatwa yang acap digunakan oleh mereka yang mempertahankan ‘kehalalan’ uang kertas. Yaitu berdasarkan keputusan ke-enam al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami pada daurahnya yang kelima di kota Makkah Al Mukarramah dari tanggal 8 sampai 16 Rabi’ul awal 1402 H. Berikut adalah sarinya:
Segala puji bagi Allah saja dan semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi terakhir yang tidak ada nabi setelahnya Sayyid kita dan Nabi kita Muhammad saw dan keluarga serta sahabatnya.
Amma Ba’du:
Sungguh Majlis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami telah meneliti sebuah riset yang diajukan terkait masalah mata uang kertas dan hukum-hukum syar’i nya. Setelah didikusikan di antara anggota majlis maka diputuskan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, berpijak pada:
Bahan awal alat pembayaran (an-naqd) adalah emas dan perak Illat (sebab hukum-pent) berlakunya hukum riba pada emas dan perak adalah tsamaniyah (standar alat pembayaran) menurut pendapat yang paling shahih di kalangan para pakar ilmu fikih.
Kriteria tsamaniyah ini menurut fuqaha tidak hanya terbatas pada emas dan perak,sekalipun asal mata uang adalah emas dan perak. Mata uang kertas telah menjadi sebuah alat pembayaran yang memiliki harga dan berperan layaknya emas dan perak dalam penggunaannya. Uang kertas telah menjadi standar ukur nilai pada barang-barang yang ada di zaman ini, karena penggunaan emas dan perak (sebagai alat tukar) tidak lagi tampak dalam interaksi dan jiwa, Masyarakat merasa tenang dengan menganggap uang kertas sebagai alat tukar (Tamawwul) dan menyimpannya. Penunaian pembayaran yang sah terwujud dengannya dalam skala umum. Sekalipun nilainya bukan pada dzatnya, akan tetapi karena faktor luar, yaitu terwujudnya kepercayaan masyarakat terhadapnya sebagai sarana pembayaran dan pertukaran. Inilah titik pertimbangan kuat bagi sisi tsamaniyah padanya.Kesimpulan tentang illat berlakunya hukum riba pada emas dan perak adalah tsamaniyah dan illat ini juga terwujud pada uang kertas.
Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, Majlis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami menetapkan bahwa mata uang kertas merupakan alat pembayaran yang berdiri sendiri dan mengambil hukum emas dan perak, sehingga zakat menjadi wajib padanya dan dua jenis riba, fadhl dan nasi’ah berlaku pada uang kertas ini, sebagaimana hal itu berlaku pada mata uang emas dan perak secara sempurna dengan mempertimbangkan kriteria tsamaniyah pada mata uang kertas, sehingga ia diqiyaskan kepada emas dan perak. Dengan demikian:
Pertama, mata uang kertas memiliki kesamaan hukum dengan uang emas dan perak (nuquud) dalam segala konsekuensi yang telah ditetapkan syariat.
Kedua, uang kertas dianggap sebagai alat bayar independen sebagaimana fungsi emas, perak dan benda-benda berharga lainnya. Demikian juga, uang kertas diklasifikasikan sebagai jenis-jenis yang berbeda-beda dan beraneka-ragam sesuai dengan pihak penerbitnya di negara-negara yang berbeda-beda pula. Artinya uang kertas Saudi Arabia adalah satu jenis dan uang kertas Amerika adalah satu jenis. Begitulah setiap uang kertas adalah satu jenis independen secara dzatnya. Dengan demikian, hukum riba dengan kedua macamnya, riba fadhl dan riba nasi’ah berlaku padanya, sebagaimana kedua riba ini berlaku pada emas dan perak serta barang berharga lainnya. Semua ini berkonsekuensi sebagai berikut:
Tidak boleh menjual mata uang sebagian dengan sebagian yang lain atau dengan mata uang yang berbeda dari jenis-jenis alat pembayaran lainnya berupa emas atau perak atau selain keduanya secara nasi’ah(tunda) secara mutlak, tidak boleh misalnya menjual sepuluh riyal Saudi dengan mata uang lain dengan selisih harga secara tempo (hutang).
Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenisnya sendiri di mana salah satunya lebih banyak dari yang lain, baik hal itu dilakukan secara kontan maupun tunda. Tidak boleh – sebagai contoh – menjual sepuluh riyal Saudi kertas dengan sebelas riyal Saudi kertas secara kontan maupun tempo. Boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenis lain yang berbeda bila hal itu dilakukan�secara kontan. Diperbolehkan menjual Lira Suriah atau Lebanon dengan riyal Saudi, baik berupa uang kertas atau perak dalam jumlah yang sama atau lebih murah atau lebih tinggi.
Juga diperbolehkan menjual dolar Amerika dengan tiga riyal Saudi atau lebih rendah dari itu atau lebih tinggi bila hal itu terjadi secara kontan. Seperti ini juga pembolehan menjual riyal Saudi perak dengan tiga riyal Saudi kertas atau kurang atau lebih tinggi dari itu, bila hal itu dilakukan secara kontan. Karena dalam kasus ini dianggap menjual satu jenis mata uang dengan jenis yang lain, sekedar kesamaan nama tidak berpengaruh karena hakekat keduanya tidak sama.
Ketiga , kewajiban zakat pada uang kertas bila nilainya sudah mencapai nishab terendah dari nishab emas atau perak atau nishabnya terwujud dengan menggabungkannya dengan harta berharga lainnya dan harga barang yang disiapkan untuk diperdagangkan.
Keempat, boleh menjadikan mata uang kertas sebagai modal dalam jual beli salam dan serikat kerja sama.
Wallahu a’lam dan taufik hanya dariNya. Shalawat dan salam kepada Sayyidina Muhammad, keluarga dan para Sahabatnya.[Fatwa yang serupa juga dikeluarkan dalam majalah "al-Buhuts al-Islamiyah" saudi arabia thn 1395 H. Dan juga bisa dirujuk dalam kitab "al-Mabadi' al-Iqtishodiyyah fil Islam".]
Tanggapan:
SANGGAHAN ATAS FATWA UANG KERTAS
(SATU KAJIAN MENGGUNAKAN METODOLOGI QIYAS)
Uang kertas sebenarnya adalah benda baru, karena uang kertas belum pernah dibicarakan sedikitpun pada zaman tasyrie (zaman Nabi, sallalahu alayhi wa sallam, Sahabat, Tabiin, Tabiit Tabiin dan juga Imam Mazhab yang empat). Umat Islam mengenal uang kertas ini (fiat money) setelah jatuhnya Khilafah Islamiyah. Oleh karenanya tidak akan dijumpai satu pun nash dalil dari al-Quran, hadits dan ijma mengenainya. Disebabkan hal itulah ulama menggunakan metodologi qiyas, sebuah metode dalam ilmu ushul fiqh untuk melegitimasi uang kertas. Hal ini dilakukan karena ketidakberdayaan umat Islam dan ketidakmampuan pemimpin-pemimpin Islam untuk mencetak kembali Dinar dan Dirham pada waktu itu.
Metodologi qiyas uang kertas dengan dinar dan dirham dikaji oleh Dr. Yusuf al-Qordhowi, DR. Ali’ Abdul Rasul, Muhammad Baqir as-Shadr, Dr. Syauqi Ismail Syahatah, DR. Sami Hamud, Prof. Abdullah Sulaiman Munie’, serta Fatwa serupa yang dikeluarkan oleh majalah “al-Buhuts al-islamiyah” Saudi Arabia 1395 H dan kitab “al-Mabadi’ al-Iqtishodiyyah fil Islam”. Sebagaimana diurikan di atas disanggah dengan tegas oleh DR. Mahmud Al-Khalidi seorang alumni dari Universitas al-Azhar bidang syariah wal qanun (syariah dan perundang-undangan), dalam buku beliau yang berjudul “Zakat an-Nuqud al-Waraqiyyah al-Mua’shirah” (Zakat Uang Kertas) pada 1985. Poin-poin penting sanggahan tersebut adalah sebagai berikut :
Fatwa di atas menyalahi yang telah ditetapkan oleh Allah ta’la dalam Al-Quran, sunnah nabi Muhammad sallallahu a’laihi wasallam, dan ijma (konsensus) Sahabat karena dalam Islam yang dinamakan nuqud adalah emas dan perak dan bukannya uang kertas.
Metodologi qiyas yg dijadikan dalil syara’ seharusnya memiliki ‘illah (alasan/argument) dan illah itu harus diambil dari Al-Quran dan as-Sunnah. Sedangkan “tsamaniyah” (nilai tukar) yang dijadikan ‘illah tidak ada satupun dalil daripada al-Quran dan as-Sunnah.
Berlakunya hukum riba pada emas dan perak adalah pada tsamaniyah atau nilai tukar, ini pun tidak ada dalil syara’ yang menunjukkan hal tersebut. Pengharaman riba haruslah berdasarkan dalil atau nash yang syar’i.
Kepercayaan masyarakat bukan menjadi tolak ukur dalam melegitimasi uang kertas menjadi nuqud syar’i (mata uang sunnah), sekiranya berdiri Daulah Islamiyah maka pemimpinnya harus menerapkan hukum Allah Ta’ala termasuk mencetak nuqud syar’i.
Pandangan para pakar ekonomi tentang uang tidak dapat dijadikan hujjah dalam melegitimasi uang kertas sebagai nuqud syar’i, karena hujjah mesti berasal daripada Allah dan Rasulnya yaitu Al Quran dan as sunnah.
Rasulullah sallallahu a’laihi wasallam menentukan ukuran berat atau timbangan pada nuqud syar’i seperti uqiyah, dirham, daniq, qiraath, mithqaal dan dinar. Semua ini tidak terdapat pada uang kertas. Berdasarkan beberapa hal di atas Dr Makhmud al Khalidi menyimpulkan bahwa qiyas dinar dirham dengan uang kertas adalah batil, dengan perkataan lain qiyas ma’al faariq (qiyas yang tidak tepat).
Walaupun demikian, beliau menggunakan kaedah ushul fiqh “maalaa yatimmul waajib illa bihi fahuwal waajib “ (suatu perkara yang wajib tidak dapat dilaksanakan kecuali hanya dengannya [perkara itu] maka ia menjadi wajib), karena ketiadaan dinar dirham di muka bumi ini, sehingga hukum uang kertas disamakan dengan dinar dirham.Tetapi, sanggahan itu dibuat juga pada 1985, ketika Dinar dan Dirham memang belum dicetak. Sekarang Dinar Dirham sudah dicetak kembali dan berada di tangan masyarakat, maka wajib umat Islam menggunakan Dinar dan Dirham untuk muamalah dan pembayaran zakat, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Ta’ala dan Rasulnya, sallallahu a’layhi wasallam. Wallahu A’lam.
***Terima Kasih***
Artikel Terkait:
Share :