Pemandang Sunrise di Puncak Dieng |
Go Klik-Info, Mendengar nama Dieng, pikiran saya langsung melayang ke tempat yang tinggi dan sejuk. Dieng memang memesona.
Candi-candi dan kebudayaannya membuat saya betah berlama-lama di sini. Dieng berada di ketinggian lebih dari 2000 m di atas permukaan laut (plt). Secara administratif Dieng berada di wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo, Jawa Tengah.
Berada sekitar 116 kilometer dari Yogyakarta. Di ketinggian tersebut, suhu harian di luar ruangan bisa mencapai 9 derajat Celsius. Biasanya itu terjadi pada menjelang tengah malam. Pada siang hari udara terasa sejuk meskipun matahari bersinar terik.
Nama Dieng berasal dari kata “di” yang bermakna gunung, dan “hyang” yang artinya dewa. Jadi, kedua kata tersebut dalam bahasa Kawi jika digabungkan memiliki arti gunung tempat bersemayam dewa-dewi. Menurut sejarah geologinya, dataran tinggi ini terbentuk akibat letusan sebuah gunung berapi yang sangat dahsyat. Hal ini terbukti dengan banyaknya kawah aktif yang tersebar di beberapa tempat dan kini menjadi obyek wisata. Kawah-kawah ini sesungguhnya berada di sebuah kaldera raksasa dengan bukit-bukit yang merupakan tepinya.
Kawah-kawah itu mengeluarkan gas panas dan material vulkanik lainnya. Di sana juga masih sering terjadi gempa bumi vulkanik, meskipun getarannya tidak besar.Selain kawah, gunung api yang meletus hebat itu juga melahirkan telaga-telaga cantik. Telaga-telaga itu sebenarnya adalah danau-danau vulkanik yang airnya telah terkontaminasi belerang sehingga menimbulkan warna hijau kekuningan.
OBYEK WISATA
Sebagai daerah wisata, yang dijual Dieng adalah pesona keindahan panorama dataran tinggi yang bertetangga dengan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.
Kita akan disambut oleh lanskap yang menakjubkan sejak tiba di “pintu masuk” Dieng. Jika cuaca cerah dan langit tanpa awan, kita bisa menyaksikan kedua gunung kembar itu menjulang di kejauhan, seolah-olah melayang-layang di kebiruan langit, menyajikan sebuah pemandangan yang tidak akan kita temukan di kota besar.
Hamparan ladang tembakau di kiri kanan jalan ikut menambah keindahan. Semakin lengkap ketika melewati perbukitan Dieng yang dipenuhi kebun-kebun kubis, kentang, dan kacang tanah. Kebun-kebun ini dibuat secara terasering, mengikuti kontur lereng-lereng bukit. Sejauh mata menatap, hanya warna hijau segar yang tampak. Sayangnya, kabel-kabel listrik yang berseliweran sering mengganggu pemandangan, terutama saat kita ingin memotret.
Ada beberapa obyek wisata di Dieng yang layak dikunjungi, antara lain: Telaga Warna, Telaga Pengilon, Kawah Sikidang, sunrise di Bukit Sikunir, dan candi-candi Hindu (Arjuna, Semar, Srikandi, Gatotkaca, dan Bima). Selain itu, biasanya pada akhir Juni atau awal Juli digelar “Dieng Culture Festival” yang menampilkan pertunjukan seni budaya dan tradisi setempat, termasuk upacara pemotongan rambut anak-anak gimbal.
Telaga Warna adalah telaga yang paling banyak dikunjungi wisatawan. Daya tariknya ada pada airnya yang beraneka warna: hijau, kuning, biru, dan kadang-kadang merah. Warna merah adalah pantulan warna ganggang yang banyak tumbuh di dasar telaga, sedangkan kuning dan hijau disebabkan oleh belerang. Bersebelahan dengan Telaga Warna adalah Telaga Pengilon. Dalam bahasa Jawa, pengilon bermakna cermin, cocok dengan air di telaga ini yang biru bening serupa cermin memantulkan refleksi semua benda di atasnya.
Kompleks Candi Arjuna tak kalah menarik untuk dikunjungi. Kumpulan candi Hindu Syiwa ini dibangun sekitar abad ke-8 jika merujuk keterangan pada sebuah prasasti di sana yang berangka tahun 808 M dalam huruf Jawa kuno.
Tepatnya ada empat unit bangunan candi di kompleks Candi Arjuna ini, yaitu Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Gatotkaca, dan Candi Srikandi. Sebenarnya masih ada lagi beberapa candi lain, tetapi sudah tinggal reruntuhannya saja. Sebuah lagi, Candi Bima, berada agak jauh di luar kompleks tersebut. Keberadaan candi-candi ini menunjukkan bahwa dahulu kala di situ pernah berdiri sebuah kerajaan Hindu.
Dari semua pesona alam Dieng, yang paling fantastis adalah menonton matahari terbit di Bukit Sikunir. Ini obyek wisata yang “wajib” dilihat oleh setiap wisatawan. Rasanya belum sah jalan-jalan kita ke Dieng kalau belum menonton the sunrise show ini. Memang untuk mencapai puncak bukit tersebut kita harus mendaki dulu pada dini hari dalam hawa dingin yang menusuk tulang. Sangat disarankan untuk memakai pakaian tebal, sarung tangan, kaus kaki, dan kupluk. Bagian mendaki ini cukup melelahkan bagi yang tidak terbiasa berjalan jauh.
Tetapi, semua rasa letih itu langsung terbayar lunas begitu kita tiba di atas dan menjadi saksi mata kemunculan sang surya membuka hari. Berada di atas awan dengan tiga buah gunung mengelilingi serta pemandangan matahari terbit di ufuk dalam remang langit jingga, sungguh membuat kita sejenak merasa di surga. Percayalah, bagian ini akan menjadi momen terbaik dan terindah yang akan selalu dikenang. Kuncinya, jangan sampai terlambat berangkat agar tidak kesiangan tiba di puncak. Umumnya, para pelancong sudah mulai berangkat pada pukul tiga pagi. Keuntungannya berangkat pagi selain tidak ketinggalan show juga bisa memilih “kursi” terbaik, terutama untuk yang ingin memotretnya.
POTONG RAMBUT
Setiap pertengahan tahun, Dieng menggelar sebuah festival budaya yang diberi nama Dieng Culture Festival. Acara ini tepatnya diselenggarakan di kawasan kompleks Candi Arjuna. Selama 3 hari 3 malam berlangsung keramaian layaknya sebuah pesta yang menyaijkan aneka hiburan kesenian dan budaya Dieng. Mulai dari pertunjukan musik, tari-tarian, wayang kulit, hingga puncaknya berupa ruwatan jembel (anak-anak berambut gimbal). Inilah bagian yang paling ditunggu-tunggu oleh wisatawan karena hanya terjadi satu tahun sekali.
Keberadaan anak-anak berambut gimbal ini menjadi fenomena unik yang mengundang perhatian publik luar Dieng. Mereka mendapat perlakuan istimewa karena masyarakat di sana meyakini bahwa anak-anak berambut gimbal ini adalah bajang titipan Ratu Kidul. Anda boleh tidak percaya, tetapi rambut gimbal itu konon tidak bisa dihilangkan hanya dengan mengguntingnya di salon atau tukang cukur, tetapi harus melalui sebuah ritual ruwatan.
Sebab, jika dipotong tanpa melalui ruwatan, rambut gimbal itu akan tumbuh kembali dan si anak akan sakit-sakitan. Diyakini pula bahwa ruwatan anak gimbal ini bisa menghindarkan mereka dari bencana. Tidak ada batasan umur untuk melakukan acara ruwatan ini, tergantung permintaan si pemilik rambut gimbal. Namun, umumnya dilaksanakan ketika anak-anak itu berumur tujuh tahun ke atas. Tahun ini ada enam orang anak gimbal yang diruwat. Upacaranya berlangsung di pelataran Candi Arjuna, disaksikan ribuan pasang mata para wisatawan.
Sebelum diruwat, keenam anak tersebut harus dikeramas dulu dalam sebuah upacara. Mereka diarak dalam sebuah kirab menuju tempat pencucian rambut yang terletak tak jauh dari kompleks Candi Arjuna. Mereka juga boleh mengajukan permintaan apa saja. Dan permintaan itu harus dikabulkan oleh orang tua mereka. Lucu-lucu permintaan anak-anak yang polos itu. Mulai dari permen, susu kotak, wedus (kambing), hingga anting-anting. Katanya sih, permintaan itu merupakan keinginan indang, makhluk gaib penjaga anak-anak gimbal itu. Ruwatan potong rambut tidak bisa dilaksanakan sebelum permintaan si anak terpenuhi. Untung tidak ada yang minta mobil, ya? Repot juga mengabulkannya.
Aneka sesaji berupa tumpeng warna-warni, buah-buahan, dan jajan pasar disertakan dalam upacara yang telah berlangsung secara turun-temurun selama bertahun-tahun. Pelaku pemotongan rambut biasanya adalah para tetua adat dan pejabat daerah, seperti bupati dan wakilnya. Karena kekhasannya, ruwatan ini kemudian dilakukan massal dalam sebuah festival budaya yang bisa disaksikan publik, terutama wisatawan dari luar Dieng. Pada saat inilah jumlah wisatawan ke Dieng mencapai puncaknya.
KULINER
Di Dieng kuliner yang terkenal adalah mi ongklok. Sekilas penampilannya dalam mangkuk mirip dengan mi ayam. Mi ongklok ini mi rebus berkuah kental, ditambah kubis dan daun kucai. Rasanya manis-manis gurih, mirip mi yamin. Lebih nikmat bila dimakan selagi panas dengan sate daging sapi dan tempekemul, pas betul sebagai hidangan pengusir dingin. Harganya berkisar antara Rp7,5 ribu hingga Rp10 ribu per porsi.
Selain sebagai teman makan mi ongklok, tempekemul juga bisa dikudap sebagai camilan. Tempe kemul adalah sebutan bagi tempe goreng tepung. Dimakannya dengan cabai rawit selagi hangat. Sebagai penghasil kentang tak heran jika di Dieng ini banyak kita temukan camilan berupa kentang goreng ala restoran cepat saji. Kentang goreng ini memiliki rasa yang khas. Seperti kentang goreng umumnya, kentang goreng ala Dieng ini juga lebih enak dimakan dengan saus atau mayones. Kentang-kentang ini dijual dengan harga Rp5 ribu per porsi.
Berikutnya adalah keripik jamur. Dieng sangat terkenal sebagai penghasil jamur. Jamur-jamur itu diolah menjadi keripik renyah yang digoreng dengan atau pun tanpa tepung. Harganya lumayan mahal, sekitar Rp10 ribu sampai Rp12 ribu per bungkus dengan ukuran kurang dari seperempat kilogram. Keripik jamur ini cocok sebagai oleh-oleh, karena tahan lama, ringan, dan mudah membawanya.
Yang juga sangat terkenal dan konon hanya ada di Dieng adalah carica, yaitu manisan pepaya yang dikemas dalam botol atau mangkuk-mangkuk plastik. Mengapa cuma ada di Dieng? Sebab, carica ini dibuat dari buah pepaya mini seukuran labu siam mini yang hanya tumbuh di lereng-lereng Plato Dieng. Sepanjang jalan kita dapat dengan mudah menemukan pohon-pohonnya yang syarat buah.
Dan yang tidak boleh lupa disebut dalam daftar oleh-oleh tentu saja purwaceng, minuman lokal yang dibuat dari tanaman sejenis ginseng. Tadinya, tanaman ini adalah tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan, tetapi seiring dengan meningkatnya popularitas tanaman ini, masyarakat di sana kemudian mulai membudidayakannya. Tanaman yang bernama LatinPimpinela alpina ini dipercaya memiliki khasiat sebagai “obat kuat” bagi para pria. Rasanya sebenarnya tidak istimewa, nyaris tawar saja jika dikonsumsi tanpa gula atau campuran lainnya.
Transportasi
Dieng dapat dicapai melalui jalan darat dengan menggunakan mobil atau kereta api. Dari Jakarta, jarak tempuhnya memakan waktu 8 hingga 10 jam jika memakai mobil, baik lewat jalur Pantura maupun jalur selatan. Buat yang memakai kendaraan umum, bisa naik bus jurusan Jakarta-Wonosobo dan turun di Terminal Wonosobo. Dari terminal Wonosobo Anda bisa naik minibus jurusan Dieng-Batur. Lama perjalanan kira-kira 30-45 menit. Bila menggunakan kereta, turun di Stasiun Purwokerto, disambung taksi atau mobil carteran menuju ke Terminal Wonosobo. Dari terminal tinggal naik minibus jurusan Dieng-Batur.
Penginapan
Buat pengunjung yang datang dari luar kota dan ingin menginap, tidak perlu khawatir, karena di Dieng tersedia banyak sekali penginapan, baik berupa hotel maupun homestay. Homestay ini kebanyakan milik penduduk setempat. Biasanya satu homestay terdiri dari 3 sampai 5 kamar. Masing-masing kamar boleh diisi tiga orang. Fasilitasnya macam-macam, tergantung harga. Homestay ini disewakan per kamar. Tarif per kamarnya mulai dari Rp150 ribu hingga Rp300 ribu per malam. Jika Anda berkunjung ke sana pada musim liburan, sebaiknya lebih dulu memesan penginapan agar tidak perlu repot-repot lagi mencarinya di sana.
***Terima Kasih***
Artikel Terkait:
Share :