Go Klik-Info, Pagi di Pasar Induk Kramat Jati adalah rangkaian waktu yang sangat sibuk. Teriakan terdengar di mana-mana. Orang-orang saling tawar harga. Beberapa pedagang lelaki berkumpul sambil menanti pelanggan. Di deretan kios buah-buahan, tampak sejumlah perempuan berselendang sibuk memilih jeruk, kelengkeng dan pepaya.
“Nah, yang seperti ini biasanya tidak manis. Terlalu banyak air,” sahut Tuti yang berlutut sambil menekan buah jeruk di tangan kanannya. Ia lalu memasukkan buah-buah pilihan ke dalam bakul di dekat kakinya. Setelah membayar buah ke pemilik kios, Tuti kembali berlutut. Ia melingkarkan selendang bercoraknya ke sekeliling bakul. Sisa untaian selendang diikat di depan dadanya, seperti menggendong anak di belakang punggung. Ia lalu berdiri dan berjalan menggendong bakul seberat hampir 8 kg.
Setiap pagi, ketika langit masih gelap, Tuti berjalan kaki dari rumah kontrakannya di Pasar Minggu ke Pasar Induk Kramat Jati. Ia tidak sendiri. Bersama Tuti, berjalan pula Aminah, Sari dan Nani. Keempatnya berjalan kaki sambil menanggung bakul. Tuti dan sari berasal dari Brebes, Jawa Tengah. Sedangkan Aminah dan Nani merupakan warga asli Karanganyar, Jawa Tengah.
Keempatnya mengontrak rumah petak di daerah Pasar Minggu, dengan harga sewa Rp200 ribu per bulan. “Berat kalau tinggal sendiri. Kalau berempat kan lebih enteng, cuma Rp50 ribu setiap bulan,” cerita Nani tentang sistem pembayaran rumah kontrakan mereka. Suami, dua anak dan dua cucu Nani tinggal di daerah Karanganyar. Biasanya Nani bertemu mereka saat Lebaran. “Saya itu kalau pulang kampung tidak pernah lama. Paling cuma seminggu,” kisahnya.
Meski jarang bertemu, namun Nani dan keluarganya tetap menjalin komunikasi lewat hubungan telepon. “Saya sering menanyakan kabar cucu atau ternak kami ke suami,” papar perempuan 52 tahun itu sambil membetulkan letak selendangnya.
Matahari mulai bergerak ke atas kepala. Cuaca semakin panas. Tuti, Nani dan rekan-rekan mereka yang lain mulai membereskan bakul-bakul. Beberapa bakul kosong ditumpuk dan diikat dengan seuntai tali putih. Duduk agak menjauh dari para perempuan penjual buah, Aminah memijat kaki kanannya. “Kemarin terkilir waktu sedang keliling kampung,” paparnya.
Ya, Aminah dan rekan-rekannya setiap hari berjualan keliling kampung di daerah Kebagusan, Jakarta Selatan. Mereka menumpang mobil bak terbuka yang setiap siang menjemput Aminah dan kawan-kawan di dekat deretan kios kolang-kaling, Pasar Induk Kramat Jati. Sopir mobil bak terbuka mengantar mereka hingga Pasar Minggu. Dari titik penurunan itu, Aminah dan kawan-kawan lalu berjalan keliling kampung. Masing-masing memiliki rute yang berbeda.
Aminah, misalnya, berkeliling di beberapa kampung di Kebagusan Utara. Mereka akan pulang pada sore hari, dengan bakul yang sudah kosong atau masih terisi buah. “Kalau masih ada buah, kami jual lagi di warung-warung kecil di sekitar kampung,” terang Tuti. Dalam sehari, mereka bisa memperoleh pendapatan sekitar Rp120 ribu.
Lelah, sudah pasti. Namun, itu semua menghilang ketika mereka sampai di rumah kontrakan. Dalam rumah dengan dua kamar kecil itu, para perempuan penjual buah keliling akan bertukar cerita. Kadang-kadang hingga malam.
“Sudah ya. Kami jalan dulu,” kata Nani kepada Sekar sebelum dirinya pergi. Ia dan beberapa perempuan lain kemudian naik ke bagian belakang mobil bak terbuka. Mobil itu menjauh. Para perempuan penjual buah melambaikan tangan sambil tersenyum.
BUAH BUSUK SUMBER KEHIDUPAN
Pasar Induk Kramat Jati tidak hanya riuh suara serta warna-warni buah dan sayuran segar. Pasar ini, mengingat kehadirannya, juga ramai sampah. Sejak subuh, para pedagang sudah sibuk mengangkut tumpukan kulit jagung, tempurung kelapa, juga sayur dan buah-buahan busuk atau yang kualitasnya kurang baik.
Di Pasar Induk Kramat Jati, sayur dan buah-buahan dalam kategori terakhir disebut dengan singkatan “BS”. Mereka menumpuk kulit, tempurung dan BS di mulut-mulut jalan dalam area pasar. Menurut Indra, salah satu petugas keamanan di Pasar Induk Kramat Jati, tumpukan sampah itu setiap hari “dirapikan” menggunakan sebuah traktor. “Biasanya menjelang pukul 11.00,” katanya di pos patroli Pasar Induk Kramat Jati.
Pagi itu, ketika menelusuri jalanan dalam area pasar, Sekar menghadapi suasana yang cukup miris. Di dekat tumpukan sampah, berdiri seorang perempuan berdaster dengan sebilah pisau di tangan kanannya. Ia, Maimunah, membungkukkan tubuhnya di atas tumpukan sampah. Ia menebuk-nebuk tumpukan buah-buahan busuk. Maimunah lalu berlutut dan memperhatikan satu buah tomat.
“Ini masih bisa dimakan,” katanya. Ia lalu memasukkan tomat itu dan beberapa buah lain ke dalam karung. Sayur dan buah BS dalam karung kemudian akan dicucinya. Ia akan membawa buah dan sayuran itu ke beberapa warung kecil di sekitar Pasar Induk Kramat Jati. “Buah-buahan ini saya jual lagi. Sisanya saya makan,” sahut perempuan 45 tahun asal Kebumen tersebut.
Begitulah yang dilakukan Maimunah dan sang suami setiap pagi. Pasangan itu menanti sampah menggunung, lalu mulai mencari yang menurut mereka masih layak dijual lagi. Bau menyengat tak lagi diacuhkan. Bila hidung mulai tak bisa kompromi, maimunah akan berdiri. Ia membuka kain penutup mulutnya dan mengambil banyak-banyak napas.
Mereka menyisir satu mulut jalan ke yang lain. Karung-karung yang dibawa mulai merosot, karena beban yang semakin berat. Tapi mereka terus berjalan. Maimunah dan Edy belum akan berhenti mengais dan mencungkil, hingga suara traktor mulai berdengung. “Kalau enggak begini, ya, kami enggak bisa makan,” sahut Edy, sang suami.
Selesai di Pasar Induk, mereka melanjutkan perjalanan ke Pasar Ikan Kramat Jati. Bertahun-tahun lalu, kata Maimunah, ia dan suaminya kerap membawa bekal makanan. Namun, sekarang tidak lagi. “Kadang-kadang saya terlalu lelah untuk memasak sebelum berangkat. Jadi, kami beli makanan saja di warung atau ambil dari karung,” kata Maimunah sambil melongok ke dalam karung di sampingnya.
Mainumah dan Edy tinggal di Jakarta sejak 20 tahun lalu. Mereka hidup berdua, tanpa anak. Maimunah awalnya bekerja sebagai karyawan sebuah pabrik di Jakarta Timur. Sementara Edy bekerja sebagai buruh bangunan.
Entah apa sebabnya, Maimunah lalu mengundurkan diri dari tempatnya bekerja. Edy tidak lagi menjadi buruh bangunan, setelah merasa raganya tidak lagi sekuat dulu. Maimunah tidak pernah berpikir akan mengais sampah di Pasar Induk Kramat Jati. Tapi, ia harus melakukannya. “Ini pilihan paling mudah demi kelangsungan hidup kami berdua,” katanya.
Traktor mendorong tumpukan sampah ke satu titik pembuangan. Maimunah memandangi traktor, lalu membantu Edy berdiri. Ia menemani Edy yang mulai tampak kelelahan ke satu lapangan kecil di bawah deretan pohon-pohon besar. Ia lalu memberikan botol plastik berisi air putih ke sang suami, memintanya untuk minum.
***Terima Kasih***
Artikel Terkait:
Share :