HARI TUA NENEK SITI
Go Klik-Info, Siti merapikan duduknya. Tangannya yang kurus dengan cekatan melepaskan tangkai-tangkai cabai merah keriting. Sesekali ia menyibakkan rambut-tambut putih yang jatuh ke mukanya. Ketika sudah mulai kelelahan, ia akan berdiri, menggerak-gerakkan tangan dan kaki seperti orang yang sedang melakukan pemanasan sebelum berolahraga.
“Mata dan tangan saya ini seperti mati rasa. Tidak lagi terasa perih meski berjam-jam mengupas bawang merah atau memotong tangkai cabai,” katanya pada suatu pagi di sudut Pasar Induk Kramat Jati. Setiap pagi, mulai pukul 04.00, Siti dan belasan perempuan lain berkumpul di banjar pengupasan bawang merah, Pasar Induk Kramat Jati. Mereka mengobrol, bercanda dan tertawa sambil menanti kedatangan utusan pedagang yang membawa berkarung-karung bawah merah dan cabai. Pisau siap di tangan kanan mereka.
Ketika karung-karung diturunkan dari mobil, mereka akan menghambur dan memilih ruang duduknya masing-masing. Tangan dan pisau segera bekerja. Pagi itu pisau Siti tak terpakai, karena ia ditugaskan untuk memotong tangkai cabai, bukan mengupas bawang merah. Artinya, tangan Siti yang langsung bekerja.
“Ya begini. Sering ada permintaan mendadak. Saya bahkan enggak tahu bakal terima upah berapa. Kalau (mengupas) bawang merah sih dapat Rp500 per kg” kata Siti. Peluh mulai membasahi mukanya. Raut-raut yang timbul menyiratkan betapa tua harinya kini. “Usia saya 92 tahun. Tua kan? Saya bahkan pernah empat kali diberitakan meninggal,” ujar Siti diselingi tawa.
Siti meninggalkan Tegal sekitar 30 tahun lalu. Ia berdesak-desakan dalam kereta api ekonomi, tidur di atas lembaran koran yang sebelumnya terinjak-injak kaki penumpang dan berkhayal tentang masa depannya di Jakarta. “Ini memang jauh dari khayalan saya. Tapi harus tetap bersyukur, wong masih bisa makan nasi,” paparnya.
Pasar Induk Kramat Jati adalah rumah Siti. Ia bekerja, makan dan tidur di situ. Muslimah, salah satu pemotong tangkai cabai pagi itu bercerita, ia dan teman-temannya sering mengajak Siti tinggal bersama mereka dalam sebuah rumah kontrakan. “Tapi Nenek enggak mau. Ia ingin tinggal di sini saja. Katanya ia enggak bisa tidur kalau enggak mencium bau pasar,” terang Muslimah.
Tidakkah Siti rindu pulang ke Tegal? Rindu, katanya. Namun, badannya sudah tak kuat lagi jika harus berjam-jam duduk dalam kereta atau bus malam. “Saya di sini saja. Ini kan rumah saya juga,” sahutnya. Ia menarik napas panjang. Tangannya mengusap peluh pada muka, lalu kembali melepaskan tangkai-tangkai cabai.
Kehidupan para perempuan di Pasar Induk Kramat Jati menggambarkan betapa kerasnya kehidupan di Jakarta. Namun, mereka tak pernah menyerah. Pilihan hidup sudah di tangan. Mereka siap menjalani semuanya. Hidup mati mereka ada di Pasar Induk Kramat Jati.
Para Perempuan Kuat
Tak hanya di Pasar Induk Kramat Jati, sekelompok perempuan yang berasal dari Sumatra Utara pun rela mengangkut beban berat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Sudah belasan tahun kelompok perempuan yang disebut “inang” ini menjadi kuli panggul di sana. Kasur, televisi, hingga lemari menjadi “santapan” mereka setiap hari. Mereka harus memanggul benda-benda itu dari tempat parkir pelabuhan hingga ke atas kapal.
Para inang tak peduli betapa beratnya benda-benda itu. Semua mereka lakukan demi sesuap nasi dan membiayai anak-anak. Kehidupan mereka pun jauh dari kata layak. Mayoritas para inang tersebut tinggal di sekitar di rumah-rumah semi permanen di dekat Pelabuhan Tanjung Priok. Bau dan jorok, begitulah lingkungan sekitar tempat mereka tinggal.
Namun, rasa kapok tak pernah singgah di benak mereka. Para inang tetap akan menjadi kuli panggul di tinggal di wilayah itu sampai kapan pun. Sebab, ini sudah menjadi jalan hidup mereka. Jalan hidup yang mereka putuskan untuk merantau dari kampung dan mengejar mimpi di Jakarta. Walau pahit mendera.
***Terima Kasih***
Artikel Terkait:
Share :