DNA, pencatatan elektronik yang lebih canggih, bank data obat-obatan serta kemajuan teknologi lain bisa membantu para penyelidik untuk mendapat informasi lebih dari yang mereka dapatkan pada 5 Agustus 1962, saat kematian Marilyn Monroe, tepat 50 tahun lalu.
Apakah alat-alat itu bisa merujuk ke kesimpulan yang berbeda masih menjadi pertanyaan. Saat ini, kesimpulan akhir kematian Monroe adalah keracunan barbiturat akibat bunuh diri.
"Kabar baiknya adalah kita sudah lebih maju dari 50 tahun lalu," kata Max Houck, konsultan forensik dan penulis "The Science of Crime Scenes." "Kabar buruknya, kita masih berusaha menaruh teknologi ini dalam konteks yang sesuai," kata dia.
Kematian Monroe mengejutkan dunia dan segera memunculkan spekulasi bahwa ia mati dari plot yang lebih kejam, daripada sekadar bunuh diri. Teori-teori ini berawal dari jeda 35 menit antara waktu Monroe dinyatakan mati oleh dokternya dan saat polisi datang, ada juga rekaman telepon yang tidak lengkap, dan tidak pernah dilakukan tes racun pada sistem pencernaan.
Perhatian juga terfokus pada kemungkinan adanya buku harian Monroe berisi rahasia negara yang diambil dari kamarnya, atau apakah ia dibunuh setelah mengungkap rahasia memalukan tentang Presiden John F. Kennedy atau saudara laki-lakinya, Jaksa Agung Robert F. Kennedy.
Penyelidikan oleh Kantor Kejaksaan Agung Los Angeles 20 tahun setelah kematian Monroe tidak menemukan bukti adanya konspirasi pembunuhan, meski saat itu muncul teori bahwa Monroe kemungkinan tewas setelah overdosis yang tidak sengaja.
Laporan jaksa agung juga memasukkan kesimpulan dari ahli jenazah yang mengatakan bahwa, "meski dengan kemajuan teknologi prosedur -1982-, dengan segala kemungkinan, tidak akan mengubah kesimpulan yang dicapai 20 tahun lalu."
Internet, pencitraan digital, dan uji laboratorium yang lebih canggih berarti kematian Monroe, jika terjadi hari ini, akan menjalani pemeriksaan forensik yang lebih mendetail. Houck mengatakan bahwa bagian-bagian penting investigasi tetap tidak akan berubah, termasuk kebutuhan untuk mewawancarai saksi, mendapat akses ke lokasi kejadian, dan mendokumentasi penampakan TKP tersebut.
"Seperti seorang arkeolog, Anda akan mencoba merekonstruksi masa lalu," kata dia.
Dalam kasus Monroe, polisi yang pertama datang ke lokasi kejadian mengatakan bahwa ia melihat pembantu rumah tangga menggunakan mesin cuci di rumah itu beberapa jam setelah kematian sang aktris. Laporan jaksa agung pada 1982 juga menyatakan bahwa ada 15 botol obat terlihat di lokasi kejadian, namun hanya ada delapan yang tercatat di laporan.
"Dalam kasus-kasus yang menjadi perhatian publik, ada kecenderungan untuk tidak mengikuti protokol standar," kata Houck, yang sebenarnya adalah kesalahan. "Karena Anda akan lebih diawasi publik."
Meski laporan autopsi Monroe memasukkan hitungan obat-obatan yang diambil dari kamar tidurnya, para penyelidik kini bisa melakukan analisis lebih dalam dari resep obat-obatan tersebut. Bank data atau database negara bagian memungkinkan penyelidik untuk mengawasi resep-resep yang diberikan ke pasien serta alias rahasia mereka. Data pribadi dokter juga sering diperiksa, seeperti halnya pada kasus kematian Michael Jackson, Whitney Houston, Brittany Murphy, dan Corey Haim.
Dalam kasus Monroe, laporan jaksa mencatat ada salah satu dokter pemberi obat yang tidak bisa ditemukan.
Penyelidik di beberapa kota bahkan kini sudah memiliki pemindai ukuran panggangan roti untuk langsung mendokumentasikan lokasi kejadian, sehingga bisa langsung merekonstruksi secara 3D bagaimana kemungkinan kejadiannya. Jika alat ini ada pada masa Monroe meninggal, maka alat ini bisa memberi gambaran hubungan antara lokasi jenazah ditemukan dengan berbagai benda penting lain, seperti telepon dan obat-obatannya.
Pengumpulan sidik jari yang lebih cermat juga dapat membantu penyelidikan kasus Monroe, kata Dr Victor W. Weedn,
Ketua Departemen Ilmu Forensik di George Washington University di Washington, D.C.
Bukti DNA yang biasa dikumpulkan polisi bisa berguna jika ada kemungkinan bahwa obat-obatannya sudah disalahgunakan atau dicampur oleh orang lain, kata Weedn yang pakar uji DNA dalam penyelidikan kematian.
Menurut Houck, kemajuan terbesar yang bisa digunakan oleh penyelidik untuk menyelesaikan kasus seperti Monroe adalah jejak digital si bintang: catatan telepon, email, SMS, tweet serta berbagai aktivitas online lainnya. Semua itu kini memainkan peranan besar, kata Houck.
Catatan telepon Monroe tidak lengkap, hanya menunjukkan panggilan keluar tapi tidak mencatat panggilan masuk, menurut laporan jaksa pada 1982. "Ini tidak mungkin terjadi sekarang," kata Houck.
Selain semua kemajuan itu, teknik autopsi ternyata tidak berubah dramatis dari sejak kematian Monroe.
Hanya dimensi laporan (laporan autopsi Monroe tercetak di kertas legal dibanding dengan kertas berukuran 8 ½ x 11 inchi sekarang) yang berbeda, namun isi laporan autopsi setelah kematian selebritas sama saja. Ada deskripsi bagaimana kondisi jenazahnya saat ditemukan, gambaran detail tubuhnya -- apakah ada potongan bedah, kelengkapan organ, dan lainnya -- dan catatan obat-obatan yang ditemukan di lokasi kejadian.
"Kami, patolog forensik sering membahas tentang bagaimana kami sangat bergantung pada metode lama," kata Weedn. Ia juga mengatakan bahwa dasar prosedur autopsi sama selama berabad-abad.
Teknologi baru yang tersedia seperti CT scan untuk tubuh, namun ini berada di luar jangkauan anggaran kebanyakan ahli forensik dan kantor pemeriksa medis, kata Weedn.
Penyelidikan jaksa agung mencatat pemeriksa medis Dr. Thomas Noguchi adalah yang melakukan autopsi untuk jasad Monroe, termasuk memeriksa tubuhnya dengan kaca pembesar untuk mengecek jejak jarum suntik.
Sayangnya, tes toksikologi, yang sudah berkembang sejak 1962, sangat kurang dalam kasus Monroe.
Sampel dari perut dan usus Monroe dihancurkan sebelum diuji untuk obat-obatan terlarang, kata Noguchi dalam memoarnya yang terbit 1983 berjudul "Coroner", dan dia menyadari bahwa fakta ini bisa memunculkan teori alternatif tentang kematian Monroe.
"Berbagai teori pembunuhan akan muncul secara instan - dan bertahan sampai hari ini," kata Noguchi.
Meski ada pertanyaan-pertanyaan tak terjawab, fotografer Lawrence Schiller tak percaya ada pembunuhan di kasus ini. Schiller mengenal Monroe pada hari-hari akhirnya dan baru saja meluncurkan memoar, "Marilyn & Me: A Photographer's Memories."
"Apakah ada konspirasi untuk membunuh dia? Tidak. Saya rasa tidak," katanya dalam sebuah wawancara baru-baru ini. Ia melihat Monroe mencampur champagne dan pil dan sering lupa obat apa saja yang sudah dia minum, kata Schiller.
"Apakah dia lupa obat yang sudah dia minum malam itu, buat saya itu sangat mungkin," daripada berbagai teori konspirasi lain.
Schiller bilang dia tidak tahu bahwa saat itu, ketika dia masih berusia 23 tahun, bahwa Monroe sedang berada di titik terendah. "Monroe adalah orang yang sangat kesepian di hari-hari akhir hidupnya," kata Schiller.
Kantor kejaksaan pun setuju. "Penyelidikan dan dokumen pemeriksaan kami tidak menemukan bukti kredibel yang mendukung teori pembunuhan," seperti tertera di laporan mereka.
Menurut Weedn, meski penyelidik kematian di seluruh negara sudah dilatih lebih baik daripada tahun 1960an, kantor-kantor ini sering dianggap beranggaran rendah. Pembuat kebijakan "harus sadar bahwa apa yang kami lakukan adalah untuk yang masih hidup," kata dia.
Dalam kasus Monroe, ungkapan ini sangat tepat, dengan beberapa generasi manusia masih penasaran akan kematian Monroe dan berusaha menemukan jawaban atas berbagai skenario kemungkinan.
***Terima Kasih***
Artikel Terkait:
Share :