Mungkin hanya Tuhan-lah yang bisa mengetuk pintu hati para petinggi sepakbola negeri ini untuk kembali memikirkan nasib sepakbola dan bukan perutnya yang lapar akan kekuasaan.
Go Klik-Info, Saya masih terngiang ketika menonton laga final piala AFF tahun 2010 silam melawan Malaysia. Waktu itu timnas sedang bermain di level terbaik mereka. Ketika itu saya juga sedang ikut nonton bareng di salah satu sudut desa tempat saya tinggal. Euforia yang timnas timbulkan sangat megah, sampai-sampai menyentuh hampir seluruh lapisan masyarakat. Suara lantang seorang bocah ingusan yang sambil menonton mengelu-elukan nama Christian Gonzales juga ikut meramaikan suasana.Ibu-ibu di desa juga ikut menonton meskipun tidak tahu menahu tentang sepakbola. Lalu ketika lagu Indonesia Raya dikumandangkan, secara spontan, seorang bapak berdiri sembari ikut bernyanyi dan menitihkan air mata karena terharu. Semua fenomena ini terjadi begitu saja. Rasa nasionalisme itu timbul dengan sendirinya. Jantung saya berdebar selama 90 menit! Berharap akan ada satu gol tambahan sehingga bisa membuka kembali peluang Indonesia untuk merebut tahta. Meskipun akhirnya kalah, saya menemukan kebanggaan sebagai warga Indonesia saat itu.
Di tengah carut marut kondisi negara saat itu (perekonomian tidak stabil, korupsi dimana-mana, kemiskinan, dll), sepakbola sebagai the people's sport hadir di tanah air untuk setidaknya memberikan obat penawar luka kepada segenap masyarakat Indonesia. Euforia yang diciptakan oleh timnas baik di AFF maupun di SEA GAMES seolah memberikan secercah harapan akan sesuatu yang bisa kita banggakan kelak. Namun apa daya, semakin memburuknya iklim persepakbolaan di tanah air sampai detik ini adalah kenyataan pahit yang harus kita hadapi.
Semula kita berharap, dengan turunnya Nurdin Halid dan naiknya Djohar Arifin sebagai ketua PSSI akan membawa perubahan yang signifikan terhadap dunia sepakbola tanah air. Tetapi lagi-lagi hasilnya nihil! Yang terjadi hanyalah perebutan kekuasaan antara dua pihak yang merugikan segenap bangsa Indonesia. Sepakbola sebagai pelipur lara duka bangsa kita dirampas independensinya dan dipolitisasi demi kepentingan perut-perut golongan yang lapar akan kekuasaan.
Hasil dari semuanya ini terlihat jelas. Ketidakpuasan sejumlah pihak akan hasil kongres akhirnya membuat berbagai dualisme tercipta. Mulai dari dualisme kompetisi, klub, dan yang terakhir dualisme organisasi sepakbola tanah air. Semua orang ingin mengklaim dirinya paling benar! Semua orang ingin membuat timnasnya masing-masing. Semua orang gila kekuasaan. Joint Commite yang dibuat oleh FIFA dan AFC juga berjalan lamban. Tidak ingatkah mereka bahwasanya ini sepakbola, dan bukan panggung politik?
Imbasnya adalah kepada masyarakat pada umumnya dan para pemain dan supporter khususnya. Setahu saya, setiap warga negara mempunyai kans yang sama untuk bermain bagi negaranya. Tidak ada batasan di mana pemain tersebut bermain. Mau di liga sampah sekalipun, apabila si pemain memiliki potensi, maka ia punya hak atau bahkan wajib untuk membela negaranya! Karena hakikat warga negara adalah membela negaranya! Menurut hemat saya, langkah Bepe (Bambang Pamungkas) dan kawan-kawan datang ke Pelatnas dan bermain melawan Valencia adalah langkah tepat. Mereka rindu bermain untuk timnas. Mereka hanya ingin membela negaranya.
Kenapa tidak diperbolehkan? Kenapa hanya karena kepentingan golongan mereka dan para pemain lain yang seharusnya pantas membela timnas tidak diperbolehkan datang? Kita berbicara soal martabat bangsa. Kita berbicara tentang membela negara, tentang membela Indonesia. Memang sebuah klub punya hak untuk melarang pemainnya ikut serta di timnas. Tapi setidaknya dengan alasan yang jelas.
Misalnya si pemain baru saja sembuh cedera, dan klub melarangnya ikut timnas karena alasan takut di pemain belum pulih 100%. Mungkin itu suatu hal yang bisa ditolerir. Seharusnya klub punya hati. Mereka ini pemain bola yang juga punya hak dan kewajiban untuk membela negaranya terlepas dari golongan mana dia berasal atau siapapun pemimpinnya baik itu Djohar atau La Nyalla. Karena sekali lagi ini demi kepentingan negara.
Dualisme klub juga membuat saya bingung. Sebagai pendukung PSMS, saya bingung harus mendukung PSMS ISL atau IPL. Meskipun akhirnya saya mendukung keduanya, namun PSMS tetaplah satu (seharusnya). PSMS yang bersatu dan menjadi kebanggaan anak Medan. Bukan PSMS yang carut marut dan lebih sibuk memilih ketuanya dibandingkan memikirkan nasib pemain yang gajinya tidak dibayar.
Di sisi lain, jika melihat dari sisi sebagai suporter timnas, maka hanya kekecewaanlah yang bisa kami dapat. Tidak bermainnya putra-putra terbaik bangsa jelas berakibat pada kinerja timnas yang buruk. Kekalahan 10-0 dari Bahrain, 6-0 dari Malaysia, serta hanya menang tipis 1-0 melawan tim amatir, jelas membuktikan bahwasanya ada yang salah dengan timnas saat ini. Terlebih saat ini kita telah menciptakan rekor dengan menempati peringkat terendah FIFA sepanjang sejarah sepakbola Indonesia.
Sekarang apa? Apalagi yang harus kita harapkan dari sepakbola Indonesia? Optimisme yang selama ini berlangsung dengan dibentuknya Joint Committe juga belum menampakkan hasil. Sementara piala AFF sudah dekat. Dengan komposisi timnas yang minim serta belum selesainya persoalan di tubuh organisasi sepakbola Indonesia jelas membuat kita skeptis dengan piala AFF november mendatang.
Mungkin hanya Tuhan-lah yang bisa mengetuk pintu hati para petinggi sepakbola negeri ini untuk kembali memikirkan nasib sepakbola dan bukan perutnya yang lapar akan kekuasaan. Meski begitu, saya sekali lagi, tidak bosan berharap agar siapapun yang ketua yang terpilih pada kongres joint committe nanti, saya hanya berpesan untuk tidak lagi dendam, tidak lagi memikirkan golongan, dan mulai membenahi sepakbola serta menciptakan liga yang profesional dan kompetitif.
Saya juga berpesan untuk klub-klub yang berseteru akibat dualisme, untuk lebih mementingkan aspek sepakbola diatas segalanya serta menerima hasil keputusan kongres nantinya. Saya harap nantinya, pemimpin-pemimpin sepakbola yang berwenang ini mampu menyingingkirkan semua ego dan kepentingan pribadi/golongan.
Karena kita masih ingin mengadakan nonton bareng di setiap sudut desa. Kita masih ingin meneriakkan nama-nama pemain timnas. Kita masih ingin bersorak ketika mereka mencetak gol. Kita masih ingin merasakan euforia timnas. Dan kita masih ingin menitihkan air mata saat dikumandangkannya lagu Indonesia Raya.[Goal.com/Go Klik-Info]
=====
* Penulis adalah seorang pengamat fenomena sosial yang menyenangi sepakbola dan peduli terhadap persepakbolaan tanah air.
OPINI : RAZLI ACHMAD PURBA*
***Terima Kasih***
Artikel Terkait:
Share :