Go Klik-Info, Di
dunia internasional, sunat perempuan disebut-sebut sebagai praktik yang
melanggar hak asasi manusia. Di Indonesia, sunat perempuan pernah
dilarang tahun 2006, akan tetapi baru-baru ini kembali menjadi
kontroversi. Dan femina turut memberitakannya lewat Bintang &
Peristiwa pada edisi 28 yang lalu. Disebutkan, salah satu sebab
ramainya kembali pro-kontra sunat perempuan adalah keluarnya Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes) RI No. 1636/MENKES/PER/XI/2010. Isinya
adalah panduan bagi tenaga medis untuk melakukan sunat perempuan.
Pertanyaan yang muncul, kenapa sunat perempuan yang dilarang, kok,
sekarang malah diberi panduannya?
Dua Juta per Tahun
Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyebut sunat perempuan. Antara lain, pemotongan alat kelamin wanita (female genitale cutting), mutilasi alat kelamin wanita (female genitale mutilation), dan sunat perempuan (female circumcision). Namun, untuk lebih menekankan dampak kekerasan pada praktik ini, yang lebih banyak dipakai adalah female genital mutilation.
World Health Organization (WHO) membagi
definisi sunat perempuan menjadi empat. Tipe I, memotong seluruh bagian
klitoris (bagian mirip penis). Tipe II, memotong sebagian klitoris.
Tipe III, menjahit atau menyempitkan mulut vagina (infibulasi). Tipe IV,
menindik, menggores jaringan sekitar lubang vagina, atau memasukkan
sesuatu ke dalam vagina agar terjadi perdarahan.
Sunat
perempuan banyak dilakukan di negara-negara Afrika Utara, Timur Tengah,
Asia Tenggara, dan beberapa suku pedalaman di Amerika Selatan dan
Australia. Lembaga Amnesty International memperkirakan, setidaknya 2
juta wanita dan anak perempuan disunat setiap tahunnya. Menurut WHO
lagi, sekitar 140 juta anak perempuan dan wanita di seluruh dunia hidup
dalam budaya yang mempraktikkan sunat perempuan.
Dalam laporannya pada tahun 2010 yang berjudul Tak Ada Pilihan: Hambatan Atas Kesehatan Reproduktif,
Amnesty International menemukan berbagai fakta tentang praktik sunat
perempuan di Indonesia. Praktik ini biasanya dilakukan dukun bayi
tradisional dalam 6 minggu pertama setelah kelahiran bayi perempuan.
Tindakan yang umum dilakukan mulai dari goresan simbolis (tapi sering
kali tetap mengenai klitoris) sampai dengan memotong sebagian kecil
klitoris. Banyak responden dalam laporan tersebut yang mengaku bayi
mereka mengalami perdarahan setelahnya.
Salah
satu alasan dilakukannya sunat adalah untuk menekan libido saat seorang
anak perempuan tumbuh dewasa. Wanita yang disunat, dianggap pasti akan
dapat menekan nafsu seksual, sehingga mereka tetap dapat menjaga
kehormatan dirinya sampai menikah. Dokter Sharifa Sibiani dari King
Abdulaziz University Hospital, Jeddah, melakukan studi terhadap 260
wanita yang separuhnya sudah disunat. Ia mempelajari perilaku seksual
dan pengalaman mereka saat berhubungan seks. Hasilnya, ternyata tidak
ada perbedaan gairah seksual atau libido di antara wanita yang sudah dan
tidak disunat.
Namun, mereka yang sudah
disunat mengaku tidak mudah terangsang dan lebih sulit untuk mendapatkan
orgasme. Hal ini tidak sepenuhnya disebabkan masalah fisik akibat
klitoris yang terluka. Menurut Dr. Noroyono Wibowo, SpOG, Ketua
Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, kepuasan seksual adalah
sesuatu yang kompleks, yang tidak hanya ditentukan oleh kondisi fisik.
Kepuasan seksual adalah sesuatu yang situasional dan individual,
tergantung dari pengalaman masing-masing orang. Jadi, sifatnya sangat
relatif. “Yang bisa dikatakan dengan pasti adalah, sunat perempuan
terbukti sama sekali tidak memiliki manfaat medis seperti sunat
laki-laki,” tegasnya.
Pro Kontra Agama
Sebagai
bentuk dukungan terhadap penghapusan diskriminasi dan kekerasan
berdasarkan gender, pemerintah Indonesia tahun 2006 mengeluarkan surat
edaran berisi larangan bagi tenaga medis untuk melakukan segala bentuk
sunat perempuan (mengiris ataupun memotong). Lokakarya Praktik Sunat
Perempuan pada bulan Juni 2005 yang melibatkan organisasi profesi, LSM,
komnas, dan seluruh aspek program dan sektor sepakat bahwa sunat
perempuan tidak berguna bagi kesehatan, bahkan merugikan dan
menyakitkan.
Akan tetapi, praktik sunat
perempuan di Indonesia dilakukan karena berbagai alasan. Mulai dari
keagamaan, kebersihan (bagian luar kelamin perempuan dianggap kotor),
sampai menghindari penyakit. Ada juga kepercayaan, bahwa wanita yang
disunat tak akan memiliki libido besar. Karenanya, risikonya kecil untuk
berselingkuh. Tak jarang pula sunat perempuan dilakukan untuk mengikuti
suatu tradisi, sementara alasan sesungguhnya sudah terlupakan dan tak
lagi dipertanyakan.
Yang menarik, sebagian
besar praktik sunat perempuan di Indonesia adalah berlandaskan ajaran
agama. Faktanya, studi yang dilakukan organisasi internasional
Population Council di Jakarta tahun 2003 terhadap 1.694 ibu dengan anak
perempuan di bawah usia 19 tahun, ditemukan perbedaan interpretasi akan
ajaran Islam tentang sunat perempuan. Ada yang menganggapnya sebagai
kewajiban, sebagian lagi karena sunah (tidak diharuskan), sisanya karena
alasan kehormatan atau martabat.
Untuk
memperjelasnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Keputusan
Fatwa tahun 2008 tentang khitan perempuan. Khitan atau sunat untuk
laki-laki termasuk aturan dan syiar Islam. Sedangkan khitan untuk
perempuan adalah makrumah, yaitu salah satu bentuk ibadah yang
dianjurkan. Seperti mencukur rambut di sekitar kemaluan, memotong kumis,
mencukur bulu ketiak, dan menggunting kuku, khitan adalah fitrah
manusia. Sehingga, pelarangan segala bentuk atau tipe khitan terhadap
perempuan dianggap bertentangan dengan ketentuan syariah.
Khitan
atau sunat dalam agama Islam, menurut MUI, bukan mutilasi atau
pemotongan klitoris seluruhnya. Karena, dalam beberapa hadis memang
wanita disarankan sunat, tetapi tidak secara berlebihan. Mutilasi
klitoris justru dianggap tidak akan membahagiakan suami-istri. Dengan
fatwa tersebut, MUI mengimbau, sunat perempuan hanya boleh dilakukan
dengan cara menghilangkan selaput yang menutupi klitoris, tidak boleh
sampai melukai bahkan memotong klitoris.
MUI
juga mengharuskan sunat dilakukan oleh tenaga medis yang sudah diberi
penyuluhan dan pelatihan. Menurut Permenkes 1636 tahun 2010, sama dengan
fatwa MUI, sunat perempuan adalah tindakan menggores kulit penutup
bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris.
Menurut
Dr. Hamim Ilyas, dosen di Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri
(UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, praktik sunat perempuan sebetulnya
sudah ada jauh sebelum Islam. Dari sejarahnya, selama ribuan tahun sunat
perempuan lazim dilakukan di lembah Sungai Nil, yakni Mesir, Sudan, dan
Etiopia, serta secara terbatas pada masyarakat Arab, Rusia, dan Amerika
Latin. Tapi, menurut Hamim, tidak ada informasi bahwa sunat perempuan
juga berasal dari ajaran Nabi Ibrahim. Ketika Islam datang, praktik
sunat perempuan merupakan fenomena lintas budaya.
Islam pada
masa Nabi Muhammad tidak memperkenalkan praktik sunat perempuan. Ketika
Nabi mengetahui praktik itu ada di satu kabilah, maka Nabi berpesan pada
dukun sunat perempuan bernama Ummi Rafi’ah --yang selalu diminta para
orang tua mengkhitan anak perempuannya-- supaya melakukannya sesedikit
mungkin dan tidak berlebihan.
Dilarang, tapi Boleh?
Tanggal 6 Februari ditetapkan WHO sebagai International Day of Zero Tolerance to Female Genitale Mutilation, atau Hari Internasional untuk Nol Toleransi Terhadap Mutilasi Perempuan. Female circumcision dan female genital mutilation digolongkan dalam daftar kekerasan terhadap wanita, setara antara lain dengan KDRT, human trafficking, perbudakan seks, dan pemerkosaan. Pada tahun 2007 tercatat 30 negara sudah menetapkan hukum larangan sunat perempuan.
Sementara
Permenkes No.1636, yang dikeluarkan tahun 2010, dengan spesifik
menyebutkan langkah-langkah yang harus diambil tenaga medis, jika mereka
harus melakukan sunat perempuan. Dokter Ina Hernawati, MPH, Direktur
Bina Kesehatan Ibu, menuturkan bahwa sunat perempuan hanya sedikit
menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris dan tidak
menimbulkan luka. “Alat yang digunakan adalah jarum suntik ukuran
terkecil,” katanya.
Peraturan dan panduan ini
tentu membuat gusar banyak pihak. Amnesty Internasional dan Masyarakat
Sipil Indonesia yang terdiri dari 117 lembaga masyarakat daerah, 19
organisasi internasional, 42 individu, beberapa waktu lalu mengeluarkan
pernyataan bersama. Mereka menuntut pemerintah Indonesia untuk
menghapuskan peraturan yang dianggap justru membenarkan bahkan mendorong
praktik sunat perempuan di Indonesia.
Nong Darol Mahmada,
Program Manager Freedom Institute dan salah satu pendiri Jaringan Islam
Liberal (JIL), melihat sunat perempuan sebagai bentuk diskriminasi
karena berbagai hal. Pertama, berbeda dari sunat laki-laki yang memiliki
manfaat kesehatan dan diwajibkan secara teologis Islam, sunat perempuan
sama sekali tidak ada gunanya.
Kedua, sunat
perempuan di Indonesia kebanyakan dilakukan tanpa persetujuan anak untuk
alasan non-medis. Bahkan, berdasarkan pengamatan Nong, di beberapa
klinik dan rumah sakit bersalin di Jakarta dan daerah, sunat perempuan
dijadikan satu paket dengan tindik telinga untuk keluarga muslim.
“Sehari setelah lahir, putri pertama saya disunat dan ditindik
telinganya tanpa sepengetahuan saya,” ujar Nong.
Ketiga,
dan yang paling penting menurut Nong, sunat perempuan adalah wujud
budaya patriarkat yang digunakan untuk mengontrol hidup wanita. Sebab,
dalam berbagai hadis yang menyebutkannya, tujuan sunat perempuan adalah
untuk meminimalkan seksualitas wanita dan membahagiakan suaminya.
Lebih
lanjut, sunat juga sering dihubungkan dengan masalah sosial.
“Misalnya, ada wanita yang dipandang ‘nakal’ yang ternyata tidak
disunat. Masyarakat akan melihat, pantas saja nakal, soalnya dia tidak
disunat,” tutur Nong.
Dokter Ina menegaskan
bahwa Permenkes No.1636 dibuat justru untuk melindungi wanita dan anak
perempuan, karena pelaksanaan sunat harus sesuai ketentuan agama,
standar pelayanan, dan standar profesi untuk menjamin keselamatan
perempuan yang disunat.
Sebanyak 72% sunat
perempuan yang terjadi di Indonesia, dilakukan dengan cara berbahaya,
seperti menyayat, menggores, dan memotong sebagian atau seluruh ujung
klitoris. Juga, ditemukan beberapa kasus orang tua membawa anak
perempuannya untuk disunat oleh dukun dan tenaga nonmedis lain karena
tidak bisa ke dokter. “Akibatnya, risiko perdarahan dan infeksi lebih
tinggi lagi,” kata dr. Ina. Dengan adanya peraturan ini, tenaga medis
baru akan melakukan sunat, jika diminta orang tua.
Nong
tidak sependapat. “Buat saya, mutilasi atau hanya sekadar menggores,
sama saja sakitnya. Pemakaian jarum suntik, sekecil apa pun, pada alat
kelamin yang sifatnya sangat sensitif, tetap saja sangat berisiko,”
katanya. Lagi pula, lanjut Nong, saat praktik ini dilakukan di daerah
yang lebih terpencil, siapa yang akan mengawasi praktik sunat dilakukan
sesuai prosedur? “Akan jauh lebih baik bila yang dilakukan adalah metode
sunat yang simbolis saja. Misalnya, menorehkan kencur atau obat
antiseptik, seperti yang sudah dilakukan masyarakat di beberapa tempat.”
Boks.
Efek jangka pendek dan panjang
Jika
sunat pada laki-laki berdampak positif dan membuat kebersihan di
sekitar penis jauh lebih terjaga, menurut WHO, sunat perempuan dapat
berdampak buruk bagi kesehatan. Dampak jangka pendek yang bisa timbul
antara lain perdarahan dan sakit kepala luar biasa yang dapat
mengakibatkan shock atau kematian, infeksi pada seluruh organ panggul,
tetanus dan gangrene yang dapat menyebabkan kematian, serta kesulitan atau sakit saat buang air karena adanya pembengkakan dan sumbatan pada saluran urine.
Sedangkan
dampak jangka panjangnya yaitu rasa sakit berkepanjangan saat
berhubungan seks, penis tidak dapat masuk ke dalam vagina sehingga perlu
dioperasi, kista, keloid pada bekas sunat, disfungsi seksual (tidak
dapat mencapai orgasme saat berhubungan seks), disfungsi haid yang
mengakibatkan hematocolpos (akumulasi darah haid dalam vagina), hematometra (akumulasi darah haid dalam rahim), dan hematosalpinx (akumulasi darah haid dalam saluran tuba).
PRIMARITA S. SMITA.
***Terima Kasih***
Artikel Terkait:
Share :